Minggu, 17 April 2016

Cerpen "Ayah"



Ayah
“Kue-kue, donatnyaaaaaaa……”
Suara teriakan bocah mungil itu seiring dengan sebuah kotak kue yang ia bawa dan langkah kakinya yang mulai menyusuri jalanan di pantai. Tampak di sebelah timur sang surya menampakkan sinarnya. Memberikan kehangatan pada para wisatawan di kala pagi yang cerah itu. Senyuman sang mentari menemani setiap langkah kaki bocah berambut panjang dan berponi. Dedaunan kelapa menyibak rambutnya dan seolah menyambut bocah itu dengan tawa dan penuh semangat.
Gemericik ombak pantai seakan-akan menyerang pasir yang membawa kerang satu per satu tiba di tepi pantai. Suasana yang sangat hangat di pagi itu. Kicauan burung yang terkadang terdengar namun hanya sesaat. Ditambah lagi dengan segerombolan bocah yang sedang asyik bermain pasir.
Hari masih pagi tetapi pengunjung pantai sudah mulai berdatangan, bahkan tak hanya wisatawan local tetapi juga wisatawan asing dari berbagai macam Negara. Tak heran jika bocah itu rela bangun pagi berjualan makanan membantu menggantikan ibunya sebelum berangkat ke sekolah. Bukan hanya bocah ayu itu yang berjualan tetapi banyak juga bocah-bocah yang lepas sekolah dan berjualan makanan atau minuman di sekitar pantai demi menyambung hidup.
“Plakk.. plakk.. plakk…” Begitulah suara hentakan sepasang sepatu yang dekil dan kebesaran yang bocah itu kenakan. Dengan tas sekolah yang penuh jahitan ia selempangkan di bahu dan seragam putih merah yang lecek dan kusam, tak lupa juga ia mengenakan topi menemani setiap langkah demi langkah bocah yang akrab dipanggil Elok.
Kue-kue yang ia jajakan sembari mengiringi langkahnya ke sebuah Sekolah Dasar yang cukup juah dari gubuknya, ia tempuh dengan mengandalkan penopang tubuh terkadang tak habis terjual. Bahkan seringkali ia bawa dan ia jajakan ke teman sekolahnya sampai habis terjual.
“Teettt.. teettt.. teettttttt…..”
Bunyi bel masuk berbunyi, itu tandanya Elok siap menerima ilmu yang bapak ibu guru berikan. Elok termasuk bocah yang pandai di kelasnya dan banyak disenangi oleh guru-guru. Ia selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Ia tak hanya bocah polos nan lugu tetepi ia bocah yang berprestasi dan amat menyayangi ibunya.
Di perjalanan pulang, langkahnya terhenti dengan sebuah mobil mewah berwarna putih yang berhenti  tepat di sebelah kanannya.
“Heee,,, kue kampung kotor jangan kamu jual, ngelihatnya aja jijik apalagi memakannya bisa-bisa perutku sakit nanti.”
Seperti itulah cemohan teman bocah malang itu, tetapi tak  ia hiraukan sama sekali oleh bocah yang pendiam itu. Bahkan ia langsung melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Sampai di sebuah pasokan barang-barang bekas ia hentikan langkah kakinya yang mulai lelah. Ia duduk di sebuah kursi reyot dan ia mengambil botol minum dari tasnya. Ia minum dan matanya samapi tertuju pada tumpukan buku bekas. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya dan langsung masuk ke tempat barang bekas tersebut. Rupanya ia ingin membeli buku. Dengan harga yang murah dan telah disepakati akhirnya bocah itu meneruskan perjalanan pulang.
“Assalamu’alaikum bu, Elok pulang.”
“Hukkk hukkk hukk….”
Begitulah jawaban ibunya Elok yang tengah sakit. Sudah hampir seminggu ini ibunya Elok hanya bisa berbaring di kasur lantai yang tak layak untuk tempat beristirahat. Ayahnya Elok sudah lama meninggalkan Elok dan ibunya. Itu bermula sewaktu Elok berumur 3 tahun. Elok dan orangtuanya pergi ke sebuah pertunjukan sirkus di sekitar pantai. Tiba-tiba suatu kejadian yang tak terduga terjadi. Sirkus itu terbakar akibat obor yang tak sengaja tersenggol oleh salah satu pemain sirkus. Api cepat merambat dan Elok yang waktu itu digendong ibunya terpisah dari ayahnya. Warga bilang ayah Elok ikut terbakar di dalamnya dan sampai sekarang bocah malang itu tak pernah bertemu dengan ayahnya.
Panas di siang itu sangat menyengat. Sepulang sekolah, bocah ini tak langsung bermain seperti bocah-bocah yang lain melainkan ia harus berjualan minuman dingin dan kue-kue kepada para pengunjung  di sekitar pantai.
“Yang dingin, yang dingin…”
Dengan suara lantang ia terus menawarkan dagangannya. Biasanya bocah ini berjualan dengan ibunya tetapi karena ibunya tengah sakit maka ia yang harus berjualan sendiri. Maklum, ia hanya tinggal berdua dengan ibunya. Demi makan bocah ini rela mngorbankan sebagian waktu belajarnya untuk berjualan. Elok adalah gadis kecil yang sangat menyayangi ibunya. Ia senantiasa menemani dan merawat ibunya yang sakit.
Senja di sore itu sangat indah. Bocah yang tengah duduk memandangi senja, bibir mungilnya berucap……
“Terima kasih Tuhan, engkau masih membiarkan mata kecil ini melihat ciptaanmu yang sangat indah di setiap sore menjelang petang. Terima kasih juga engkau telah menciptakan sosok perempuan yang sangat menyayangiku sejak Elok masih kecil. Elok rindu ayah, Tuhaaan. Elok ingin bertemu ayah, Elok ingin memeluk ayah. Elok ingin merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Tuhan, ayah Elok dimana? Pertemukan Elok dengan ayah jika ayah masih ada di dunia ini. Elok sayang ibu, Elok sayang ayah.”
Lamunannya seketika buyar ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya. Rupanya ibu-ibu pengunjung pantai yang hendak membeli beberapa minuman dingin dan memborong habis kue-kuenya. Ia pulang dengan hati yang senang, tetapi di tengah perjalanan pulang bocah ini merasa diikuti seseorang. Sampai tiba di rumah pun ia masih merasa. Bahkan saat ia menyuapi ibunya, bocah ini masih merasa ada seseorang yang mengawasinya. Ia memberanikan diri keluar rumah, dan ……………
“Hei siapa kamu.” Kata bocah itu yang tengah mempergoki seseorang dengan tubuh yang agak besar memakai jaket hitam sedang mengintip dari luar lewat celah-celah yang berlubang. Dari postur tubuhnya seperti lelaki tetapi wajahnya tidak terlihat karena ia merunduk dan memakai topi. Lelaki itu pun langsung berlari. Elok pun langsung masuk dan belajar sampai larut malam.
Seperti biasa setiap paginya ia harus bangun pagi-pagi sekali untuk berjualan kue sebelum ia berangkat ke sekolah. Di waktu senja ia selalu duduk melamun memandangi senja yang mengingatkan bocah itu dengan Ayahnya. Lagi-lagi ia merasa ada yang aneh, ia seperti diikuti oleh seseorang. Dan pada suatu hari setelah berhari-hari ia merasa ada seseorang yang mengawasinya,  bocah ini membuat strategi.
Tepatnya sore itu saat senja yang sedikit tertutup awan mendung, bocah ini bersembunyi di belakang stand es kelapa muda. Tak lama kemudian ia melihat sosok lelaki dengan jaket hitam dan topinya sedang mencari sesuatu. Dan ternyata wajah lelaki itu hampir semuanya tertutup luka bakar. Wajahnya seperti monster yang sangat menakutkan.
“Haaa wajahnya seperti monster.” Kata Elok kaget. Tanpa berkata-kata Elok pun segera menghampiri lelaki berwajah monster tersebut dari belakang secara diam-diam tanpa sepengetahuan lelaki itu.
“Hei siapa kamu.” Kata Elok yang mengagetkan lelaki itu. Lelaki tersebut dengan spontan langsung membalikkan badan dan menghadap Elok.
“Siapa kamu? Kenapa dari kemarin-kemarin kamu selalu mengikutiku.” Tanya Elok lagi.
“Akuuuuu………” Kata lelaki itu tanpa ada kelanjutan dengan wajah yang masih merunduk.
“Iya, kamu siapa?” Tanya bocah itu penasaran.
Lelaki itu masih diam merunduk dan langsung lari, dengan sigap bocah kecil itu langsung berlari berusaha mengejar lelaki berwajah monster itu. Tak diketahui bocah itu, lelaki tersebut menghilang tanpa jejak.
“Kemana larinya manusia monster itu, cepat sekali larinya. Aaaah sudahlah, lebih baik aku pulang saja.”
Sesampai di rumah bocah ini mendengarkan ibunya seperti berbicara dengan seseorang. Dengan nada penasaran bocah ini memanggil ibunya dengan nada pelan. Ibunya yang tengah sakit kini mulai membaik, batuknya berkurang dan sudah mulai berjalan.
“Ibu tadi berbicara dengan siapa?” Tanya Elok penasaran.
“Dengan siapa? Ibu sendiri dari tadi. Perasaan kamu mungkin Elok, atau suara tetangga sebelah kita.” Jawab Ibunya.
“Tapi Bu, beneran tadi Elok mendengar ibu berbicara dengan seseorang. Dan Elok tidak mungkin salah mendengarnya.”
“Elok kecapekan mungkin, sudah cepat mandi, makan, belajar lalu tidur. Besok kan Elok harus bangun pagi, sekolah.”
“Baik Bu.” Jawab bocah ini dengan nada pelan.
Elok langsung mandi dan setelah mandi, lagi-lagi bocah ini mendengar suara ibunya berbicara dengan seseorang. Secara diam-diam Elok mengintip dan ternyata bocah ini sangat terkejut melihat ibunya berbicara dengan seorang lelaki yang tak lain adalah manusia berwajah monster itu. Elok yang kaget langsung masuk ke kamarnya dan menebak-nebak siapa lelaki yang tengah berbicara dengan ibunya tadi.
Di suatu senja, bocah yang tengah asyik duduk memandangi senja, melihat ibunya dengan seorang lelaki yang ia lihat waktu di kamar ibunya.
“Ibu dengan seorang lelaki itu lagi? Kenapa aku sering melihat ibu dengan lelaki berwajah monster itu? Siapa sebenarnya orang itu? Kenapa ibu tidak pernah menceritakan tentang lelaki itu atau sekedar memperkenalkannya kepadaku? Sebenarnya apa yang sedang ibu sembunyikan dariku?” Tanya bocah ini dalam hati.
Dengan wajah polos, bocah ini menghampiri ibunya dari arah belakang yang sedang bersama seorang lelaki.
“Ibuuuu..........” Sapa Elok.
“Elok………..” Jawab ibunya dengan kaget. Lelaki yang bersama ibunya pun langsung menghadap Elok.
“Kamuuuuuuu………” Kata Elok yang sangat kaget melihat ibunya tenag bersama lelaki berwajah monster itu.
“Kamu kan yang selalu mengikuti kemana aku pergi. Kamu kan yang kapan hari di rumah bersama ibu. Kamu sebenarnya siapa? Kenapa kamu bersama ibuku saat ini? Kamu siapa?” Tanya Elok bertubi-tubi.
“Ibu, siapa dia bu? Jawab bu! Kenapa ibu tidak pernah menceritakan lelaki monster ini kepada Elok? Kenapa waktu lelaki monster itu ke rumah, ibu menyembunyikannya dari Elok? Kenapa ibu tidak jujur? Dan kenapa ibu sekarang bersama lelaki monster ini?” Tanya Elok tiada hentinya.
Ibunya Elok hanya bisa diam, gugup, dan matanya berkaca-kaca seakan bibirnya ingin menyampaikan sesuatu tetapi ia urungkan. Sementara lelaki itu perlahan tapi pasti langkah kakinya mendekati Elok dan sampai dihadapan Elok, lelaki yang Elok juluki sebagai monster itu memeluknya. Tak ada kata-kata dan lelaki itu menangis sambil memeluk Elok. Pelukan yang erat itu seperti mengisyaratkan pelukan rindu yang serindu-rindunya. Ibunya Elok yang sedari tadi berdiri, kini ia ikut mendekap Elok dan menangis.
“Kini sudah saatnya Elok kamu mengetahui, ia adalah ayahmu. Ayah kandungmu, ayah yang kamu rindukan. Lelaki monster yang sering mengikutimu, sosok ayah yang sering kamu perbincangkan waktu senja dengan Tuhan. Sekarang ia bersamamu nak, bersama kita.” Kata ibunya Elok yang terus menangis.
“Kau ayahkuuuu??” Tanya Elok dengan mata kecil yang mulai menitikkan airmata.
“Kau sungguh ayahku? Lelaki berwajah monster yang sering mengikutiku? Ayah yang aku rindukan? Ayaaaahhh.” Kata bocah ini yang terus menerus menangis.
Keluarga kecil ini akhirnya pulang menuju gubuk reyot yang ia tempati di sekitar pantai, dengan mata sayup, bocah yang merindukan ayahnya ini sampai ketiduran saat digendong pulang ayah monsternya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar